Selasa, 15 Juli 2014

Menemukan Jati Diri

Seattle, 10 April 1999, Dharmawacana oleh Maha-Acarya Liansheng


Bila seorang Vegetarian, merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain, dan merasa muak begitu melihat orang lain memakan daging, ini menandakan bahwa dirinya telah menginap ‘penyakit sombong’ atau angkuh. Seorang vegetarian yang merasa dirinya suci dan lebih tinggi dari orang lain, namun sering melontarkan kata-kata yang kotor, melakukan hal-hal yang tercela, maka orang seperti itu sama saja non-vegetarian.Perbedaan antara vegetarian dan non vegetarian pada pokoknya terletak dihati dan diri orang tersebut, bukan dinilai dari tampak luarnya saja, orangyang bijaksana akan melakukan pembersihan diri dengan cara membersihkan pikiran, mengucapkan kata-kata yang bijak dan tidak semena-mena dalam perbuatan.Saya telah sering menekankan satu hal, bahwa makanlah makanan secara wajar atau natural. Mengimbangi jenis makanan antara sayur-mayur dan daging, tidak berlebihan dalam memperoleh gizi. Bila kolestrol terlalu tinggi, konsumsilah sayur lebih banyak, dan mengurangi konsumsi daging. Bila kekurangan gizi, tambahkan menu daging yang kaya akan protein dan sebagainya, agar menjadi seimbang. Apabila kita mengerti teori-teori keseimbangan, berarti kita telah menempuh 'Jalan Tengah'. Bila kondisi kesehatan kita mengharuskan kita sebagai vegetarian, itu jangan dipaksa. Bila para Bhiksu ingin bervegetarian, itu pun baik, segalanya berjalan dengan wajar-wajar sajalah.
Ini adalah pandangan saya terhadap vegetarian dan non-vegetarian.


                  *     *     *


Mengenai 'babi' yang diutarakan oleh Bhiksu Lianman, itu adalah disebabkan oleh teori 'sebab-akibat'. Beberapa tahun belakangan ini babi rupanya lagi sial, ini adalah 'karma', teknologi kedokteran masa kini sedang berusaha menyelidiki virus-virus ini, namun ada satu hal yang diabaikan, yaitu virus dalam rohani manusia, yang dapat menimbulkan peperangan.


                        *     *    *


Sekarang kita berbicara mengenai bagaimana kronologi Bhiksu Lianhu menjalani kehidupan bhiksu. Ia adalah mantan seorang Manager Publik Relation disebuah klub malam, kini menjadi seorang Bhiksu. Kita juga mempunyai seorang Bhiksu yang pernah menjabat sebagai seorang komisaris klub malam. Umumnya, berdasarkan pengalaman kehidupan, orang-orang macam mereka ini adalah orang yang telah terasah dalam masyarakat, bila menjalani kehidupan Bhiksu, dapat lebih mengerti proses kehidupan dan akan lebih mantap dalam menjalani hidup kebhiksuan, karena mereka telah melewati kehidupan-kehidupan yang kompleks, telah mengerti banyak hal di masyarakat,tidak lagi 'mabok kapal'. Mereka bakal tidak menyesal menjalani kehidupan bhiksu. Bila orang-orang yang belum mempunyai pengalaman hidup dalam masyarakat seperti Bhiksu Lianwang, saya bahkan khawatir bila suatu hari kelak begitu ia ada kesempatan berkunjung ke klub malam, jangan-jangan ia akan keluar dari kehidupan bhiksu, ini sangat merepotkan. Ini adalah soal pengalaman hidup dalam masyarakat. Ia pernah berkata, bahwa dirinya akan membawa serta sebilah ‘pedang’ memasuki masyarakat. Lalu saya bertanya, “Pedang apa?” (hadirin tertawa) “Kamu akan terjatuh pada langkah pertama bahkan tak dapat bangkit untuk berdiri....”


Bhiksu Lian Wang haruslah sangat berhati-hati (hadirin tertawa). Bhiksu Lianwang menjadi Bhkisu begitu dirinya lulus dari universitas. Ia sama sekali tidak tahu menahu tentang kemasyarakatan, dan selalu bertanya: “Mengapa begini dan mengapa begitu?”
Saya jawab, “Karena kamu masih duduk di TK ..." (hadirin tertawa)
Lain halnya dengan Bhiksu Lianhu. Ia menjadi Bhiksu karena ingin mencari jati diri sendiri. Lihatlah, ia berbicara selalu langsung pada sasarannya, berarti dirinya pada masa lampau, bukanlah tampil sebagai jati dirinya, waktu itu ia hidup atas dorongan lingkungan dan keadaan. Demi keinginan, demi keuangan dan demi hawa nafsu, bukanlah apa yang diinginkan oleh dirinya. Dirinya yang sesungguhnya adalah dirinya yang berhati suci, di mana bersumber dari kekuatan alam yang bersih dan jernih, serta penuh dengan bodhicitta. Sedangkan dirinya yang pernah ternoda oleh beraneka ragam warna, bukanlah jati dirinya sendiri. Perkataan ini sangatlah baik.Hari ini ada lagi seorang Bhiksuni Lianxing yang baru di upasampada. Suaminya datang menyaksikan upacara tersebut. Suami melihat istri menjadi Bhiksuni. Pada mulanya kami masih khawatir, apakah suaminya akan setuju? Kami betul-betul ragu apakah suaminya menyetujui istrinya menjadi Bhiksuni, ternyata suaminya datang sendiri menghadiri upacara. Begitulah kehidupan manusia, setelah kita mengenal kebenaran itu adalah bhodicitta yang suci. Begitu pula merupakan suatu permulaan dan suatu pengertian.


Para umat umumnya hanya hidup demi kepentingan sendiri, bergulat di dalam dunia dengan luapan lhoba, dosa, dan moha. Namun bila kita sadar, kita akan mencapai Kebuddhaan. Tentu saja ini bukan berarti bahwa kita akan menjadi Bhuddha begitu kita jadi bhiksu, tidak, tetapi kita telah memulai langkah kita, dalam perjalanan yang agung ini, kita belajar Buddha dharma dengan sepenuh hati,menghadap Bhuddha dengan sepenuh hati, dan menjalankan usaha pembabaran Dharma sebagai usaha kita seumur hidup. Kita dalam perjalanan hidup, usahakanlah menyucikan diri kita dalam ucapan, pikiran, dan perbuatan, lalu mencari kesucian dalam diri. Dengan kesucian, kita membawa diri dalam dunia, serta dapat dengan leluasa kembali ke tempat semula di mana merupakan Tanah Suci kita. Ini adalah tujuan kita bersadhana, yaitu bagaimana menemukan kembali jati diri kita. Walaupun Bhiksu Lianhu berbicara singkat, tapi ia telah mengemukakan point yang penting. Tidak peduli bagaimana kehidupan-kehidupan yang telah dilalui sebelumnya. Saya sendiri juga pernah mempunyai banyak pengalaman kehidupan yang lalu, yang terpenting adalah bagaimana mempertahankan kesucian hati kita, walaupun kita berada di dunia yang penuh dengan lumpur. Bila kita berhati mulia, berarti kita telah sadar, seperti seorang yang telah mencapai kesempurnaan, tidak peduli kita di mana, hati kita tetap suci.


Tetapi bila hati kita tidak suci, walaupun kita berada di lingkungan vihara, kita tetap saja kotor.
TUJUAN KITA BERSADHANA, ADALAH MENYUCIKAN HATI KITA, MENGEMBALIKAN BODHICITA KITA.

Om Mani Padme Hum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar