Selasa, 15 Juli 2014

Beban Pikiran Pak Tua Itu (Bagian 11)

Menyadari Kebenaran Pintu Kesunyataan.

                Kehidupan Chen Ping seakan-akan telah kehilangan keseimbangan, setelah bangun dari tidur nyenyak, tiba-tiba hanya tinggal seorang diri, lalu mulai menangis terisak-isak, aku tidak mengerti ada apa sebenarnya dengan diriku sendiri. Bagaimana aku melewati hidup selama bertahun tahun ini ?
                Biarlah kusingkap diriku sendiri yg sebenarnya :
                Apa yg sebenarnya kau cari ?
                Mencari nafsu berahi, mencari kenikmatan, mencari kesenangan klimaks kehidupan manusia.
                Bagaimana hasilnya ?
                Lebih baik di katakan sedikit menyedihkan.
                Apa yg terjadi dulu ?
                Diri sendiri yg dulu, selain bekerja, setelah kenyang makan dan cukup  tidur, maka melakukan petualangan perkawinan. Apa itu petualangan perkawinan ? Yaitu sebentar bibi bungsu, sebentar Cui-yun, sebentar Xue-xue, sebentar …
                Berahi dari petualangan perkawinan, tentu memiliki kesenangan yg luar biasa, kedengarannya sangat menarik, sesungguhnya adalah kehampaan yg takkan terpuaskan. Bagaimana menjelaskannya baru bisa di mengerti ? Begitu kesenangan berlalu maka timbullah kehampaan, kemudian di isi dgn kesenangan, berulang-ulang kali, kenyataan yg paling mengenaskan adalah selamanya takkan terpuaskan, sepertinya telah puas, namun, tidak puas lagi, bahkan membalikkan badan sekalipun takkan di temukan lagi, begitu tidak menemukan maka ia kembali lagi mencarinya.
                Apakah kehidupanku dianggap tidak karuan ?

                Serius di katakan, kehidupanku juga bisa dianggap teratur ! Urusan pekerjaan masih termasuk rapi dan teratur, klinik sangat bersih, rumah tempat tinggal walaupun tidak termasuk rapi dan bersih, namun menggaji org utk membersihkannya, masih boleh dianggap lumayan.
                Asal menyelaraskan pengaturan waktu dan lokasi wanita dgn waktu luang kehidupan sendiri, maka diri sendiri masih dapat melewatinya dgn lumayan nyaman dan menyenangkan ! Pokoknya, petualangan perkawinan sdh menjadi kebiasaan, kebiasaan pun di anggap menyenangkan.
                Apakah nafsu berahi membahagiakan ?

                Ya.
                Tidak juga.
                Dulu ya, skrg tidak.


                Bagaimana sekarang ? Aku sendiri merenungkan dengan seksama, bibi bungsu sdh tua, sdh terlalu merepotkan, ternyata telah menjadi tugas yg tidak menyenangkan, kesenangan dulu telah hilang, ia seakan-akan telah menjadi setumpuk sampah, aku membuat diriku sendiri menjadi sangat merana, hati tidak rela, namun aku tidak berdaya melepaskan sekelumit kekacauan ini, yg bahagia berubah menjadi yg menderita, aku tidak ingin pergi, namun, aku harus pergi, ini adalah sebuah nafsu berahi yg telah di buat kacau.
                Setiap kali, aku tidak sudi melihatnya lagi.
                Namun, masih membawa hati yg iba, aku kembali lagi menjumpainya.
                Cui-yun telah meninggal dunia, wanita yg membuat sekujur tubuhku santai telah meninggal dunia.
                Bagaimana dengan Xue-xue ? Wanita yg membuat kejutan, telah menjadi Bhiksuni, bibinya adalah Bhiksuni tua, merupakan pemimpin vihara, ia telah memasuki pintu kesunyataan.
                Chen Ping membuka pintu kamarnya sendiri, ia berjalan ke jalan raya, di atas jalan raya kendaraan lalu lalang, pejalan kaki tetap hilir mudik. Mobil , sepeda motor,  pejalan kaki, sepeda, semuanya begitu sibuk tak berhenti.
                Bagaimana dengan aku sendiri ? Aku diam-diam menertawai diriku sendiri, bahwa  aku sendiri sama saja, juga sibuk demi pekerjaan, demi petualangan perkawinan. Sibuk demi apa ?  Demi reputasi, demi keuntungan, demi seks, demi …..   Dasar manusia, setiap manusia demi kehidupannya sendiri.
                Aku terus berjalan di jalan tanpa tujuan. Biasanya langkah kakiku sangat cepat, sekarang telah menjadi lamban. Sekarang telah kehilangan segalanya, sepertinya aku tidak punya apa-apa lagi, juga tidak perlu begitu sibuk lagi.
                Aku menyelidiki orang lain. Aku menyadari bahwa sebagian besar manusia hanya memperhatikan diri sendiri, jarang sekali menusia bisa memperhatikan org lain, sekaipun telah memperhatikan, perhatian tsb juga sangat tidak jelas. Pada saat ini, aku baru menyadari bahwa hanya aku sendiri yg sedang berjalan, orang lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri, hubungan antara sesama manusia sungguh tidak ada apa-apanya.

                Tambah satu, kurang satu, tidak seberapa orang akan memperhatikan. Kecuali kau adalah orang terkenal, begitu kau tewas, barulah akan di gantikan dengan seruan dari sebagian orang.
Chen Ping menelusuri di atas jalan raya, jalan ini semula adalah jalan pertokoan, ada banyak etalase , ada banyak pejalan kak, namun, etalase bagai tidak ada hubungannya sedikit pun dengan diri sendiri, pejalan kaki tidak ada hubungannya sedikit pun dengan diri sendiri, para pejalan kaki ini setiap hari berganti, setiap bulan berganti, setiap tahun berganti, setelah pergi sekelompok, datang lagi sekelompok, hidup bagaikan lentera yg di hiasi dgn kuda kertas yg berputar.


                Semakin jauh Chen Ping berjalan, ia semakin merasa kesepian, seakan-akan hanya ada seorang yg kesepian di jalan raya yg ramai,walaupun gemerlapan dengan beraneka pewarnaan, bunyi  kendaraan bergemuruh tanpa henti-hentinya di telinga, diri sendiri masih merasakan hanya ada seorang diri saja yg sedang berjalan.
                Apakah sdh sadar ?
                Sadar apa ?

                Bahwa segalanya adalah dukha, segalanya adalah nihil, segalanya adalah kosong.
Ada bau demikian. Chen Ping tentu teringat pula dengan kenikmatan berahi manusia, ternyata kenikmatan berahi telah menciptakan kerisauan dan penderitaanku sendiri, segala penderitaan itu terlahir dari tengah kenikmatan berahi.
                Sukha dan dukha adalah kembar, kesenangan dan malapetaka bersebelahan saja, di sinilah hukum karma, terpisah oleh sehelai benang saja. Banyak orang mengejar sukha , yg di temukan ternyata adalah dukha, di sangka adalah kebahagiaan yg tak terhingga, sebenarnya bencana yg bertubi-tubi.
                Aku menganalisa diri sendiri, aku rasa diriku tidak memiliki roh, tidak bernilai, tidak bermakna, diri sendiri sama sekali adalah sekelumit kekacauan, , di pikir-pikir, aku kira diri sendiri jauh lebih tinggi dari org lain, akan tetapi sama dalam satu nadi, manusia jarang sekali memahami diri sendiri, diri sendiri memang benda yg begituan, mesin yg sangat kompleks.
                Tergila-gila pada nama, tergila-gila pada keuntungan, tergila-gila pada pria atau wanita, itu justru adalah para insan, wajah yg sama dari para insan. Pada dasarnya setiap manusia timbul dan tenggelam di tengah samudra berahi, terus hingga tua, terus hingga mati, bahkan ilmu pengetahuan pun demikian, ilmu pengetahuan hanya sekedar alat utk mencari nama, mencari keuntungan, dan merencanakan sesuatu yg jahat dari hubungan pria dan wanita.

                Dunia ini tidak ada barang yg sangat baru lagi, penemuan sebaru apapun, semuanya juga adalah nama, keuntungan, dan seks semata, contoh “Viagra”, “Badak”, semuanya merancang kesenangan sesaat, berubah bagaimana pun, tidak keluar dari tiga kata ini, juga tidak bisa memainkan yg baru lagi.
                Pria membutuhkan wanita.
                Wanita membutuhkan pria.
                Ada lagi, pria membutuhkan pria.
                Wanita membutuhkan wanita.
                Saat sedang bersama, dunia hanya tersisa kenikmatan berahi. Lantas coba satu kali, dua kali, tiga kali, tak terhingga, tak terhingga sampai jumlah bilangan yg tak terhitung…
                Hasil nya adalah sama-sama terperosok ke dalam lumpur, hanya jatuh sampai sangat menderita, lumpur itu pada dasarnya adalah segumpal lem sukha dan dukha, yang tak bisa di pisahkan, terakhir semuanya menjadi kosong melompong.


                Manusia adalah ulat sutera yg memuntahkan sutera, memuntahkan sehelai demi sehelai sutera dari tubuhnya,  terus menerus menjerat diri sendiri, semakin terjerat semakin gelap, saat diri sendiri terjerat ke dalam kegelapan, maka matilah.
                Aku menganalisa diri sendiri :

                -  Serakah pada berahi.
                -  Takabur.
                -  Bingung.
                -  Hampa.
                -  Terlena.
                Barulah bisa menyebabkan diri sendiri terjatuh ke dalam petualangan perkawinan, ingin mencari sukha, namun tidak bisa terlepas dari dukha, selalu tidak sanggup menghentikan kaki sendiri.


                Begitu aku membawa dua buku tulisan Buddha Hidup Lian Sheng Lu Sheng-yen :
                ”Kesejukan Hati Seketika.”
                “Pelita Terang Seketika.”
                Aku mendadak terkejut sekali.
                Aku menuliskan surat sumpah  :

                Tanggal sekian bulan sekian tahun sekian penanggalan Republik Cina. Mengucapkan sumpah untuk menjauhkan diri dari perzinahan. Siswa Chen Ping menjalankan puasa dan mandi. Membakar dupa dan mempersiapkan surat. Dgn hormat bersumpah dihadapan Yang Mulia Dewa Cheng Huang.
Dari ratusan kebajikan, berbakti yg paling terpuji. Dari puluhan ribu kejahatan, asusila yg paling terhina. Manusia berbeda dengan binatang, dengan maksudnya, angsa berkumpul di tengah danau pun masih tidak kacau balau. Aku sebagai siswa Buddha , tidak boleh seperti binatang, sejak hari ini, bersumpah untuk menjauhkan diri dari perzinahan.</p><p>Sepanjang hayat di kandung badan, selamanya tidak akan berubah pikiran, jika melanggarnya, maka segera tertimpa bencana, kehormatan tidak menutupi kesalahan, kemalangan tertimpa pada anak dan cucu, menodai pengajaran agung, dosa sungguh tidak ringan. Di mohon untuk datang, Dharmapala dan para Dewa, berwelas asih dan mengasihani, berdasarkan inilah, mohon melindungi dan merestui dalam hati, menjamin ketentraman selamanya.

Hormat,
Siswa Chen Ping

                Chen Ping bahkan membakar semua naskah buku harian  yg di tulisnya di tungku emas pembakaran di kuil Cheng Huang.  Terbakar menjadi abu, terbakar menjadi asap, terbakar menjadi kekosongan, ibaratnya seperti sekujur  dirinya  telah terbakar.


                Di pikir-pikir, sungguh berdosa besar, sejak muda sdh menyalahi pantangan seks, mengunjungi tempat pelacuran, kemudian menyalahi kaidah incest,  manusia dan dewa sama-sama murka, kemudian mencabuli istri dan putri orang lain,  sungguh tidak bisa di maafkan, diri sendiri tidak disiplin, slalu melakukan petualangan perkawinan, begitu kemaluan di kebiri, ejakulasi dini dan impotensi, perlahan-lahan sampai melemah, hampir tidak harapan hidup lagi, untung Buddha Hidup Lian Sheng Lu Sheng-yen menyelamatkannya, kini membaca buku karangan Maha Guru lagi, tanpa di sadar berpeluh, menyesali kesalahan masa lalu.
                Chen Ping perlahan-lahan mengerti bahwa sukha adalah sumber dari dukha. Berahi adalah sumber dari tumimbal lahir. Semua kenikmatan berahi adalah kosong. Harus menjadikan kebersihan sebagai tujuan, tanpa pamrih sebagai bentuk luar, alamiah sebagai fungsi, anatman sebagai bentuk dalam.
                Ubun-ubun Chen Ping muncul sinar putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar