Minggu, 02 April 2017

Kenang-kenangan mengenai reinkarnasi yang lalu

                    Pertama kali aku datang mengunjungi ---  aku tercengang mendapatkan diriku sangat mengenal desa ini. Ada sebuah jembatan yang panjang, dan gunung yang di penuhi dengan ladang pohon buah-buahan. Ketika bis yang kutumpangi memasuki desa itu, entah mengapa perasaanku bergejolak terutama sekali rasa haru. Di bawah jembatan panjang yg di seberangi itu, aku melihat granit biru yg di tutupi oleh semak belukar dan di samping granit itu ada sebuah batu putih yg besar.



             Aku berpikir, "Bukan saja aku mengenal tempat ini, tetapi bahkan aku pernah berjemur matahri di atas batu itu dan berenang di bawah jembatan ini. Sekarang aku ingat , begitu lewat jembatan ini, ada sebuah altar Dewa Bumi. Aku bertanya dengan penuh perasaan, "Apakah ada sebuah altar di sebelah kanan jalan ini tidak jauh dari sini ?"



             "Ya, benar !" Nona Fan menjawab tanpa berpikir lagi.



             Ia memandangku dengan aneh, "Bukankah kau katakan kau tidak pernah datang ke sini sebelumnya ?"



             Bis membelok ke kanan. Dan terlihatlah altar itu. Bata batanya sudah tua dan buram karena usia.
"Kalau tidak salah," kataku lagi kepada nona Fan, "Kita masih harus menyeberangi sebuah jembatan kecil sebelum tiba di desa, dan nama jembatan itu adalah 'ADIL'. Mudah-mudahan ingatanku benar."



             Nona fan membelalakkan matanya lebar-lebar dan berkata, "Ya. Ada sebuah jembatan kecil di sana, tapi aku tidak pernah menaruh perhatian tentang nama jembatan itu."

Ada sebuah halte bis tepat sebelum jembatan itu dan kami melihat nama jembatan itu terukir dengan jelas : 'Jembatan Adil'.



             "Kau sdh pasti pernah datang ke sini," kata nona Fan



             "Tidak, aku tidak pernah datang ke tempat ini dalam hidup ku kali ini."



             "Jadi bagaimana kau bisa tahu nama jembatan ini ?"



             "Entahlah, tapi di bawah jembatan ini, dahulu, banyak orang memelihara bebek. Dulu ada banyak bebek di sini."



             Setelah melewati jembatan itu, kami melihat segerombolan bebek-bebek dan sebuah rumah kecil dengan atap bilik. Seorang pria berdiri di samping sungai mengawasi bebek-bebek itu. Semuanya semakin tak asing bagiku.
Ayah dari nona Fan membuka toko mini-market di sini. Ia telah mendengar kabar bahwa aku adalah seorang ahli Feng-Shui dan ia telah meminta putrinya utk membawaku ke desa ini.



             "Kau orang aneh." kata nona Fan



             "Tidak sama sekali. hari ini ingatanku baik-baik saja." jawabku



              Ketika kami turun dari bis, hatiku bagaikan loncat saja. Sepertinya desa ini tidak banyak berubah dari apa yg kuingat. Nona Fan membawaku menemui ayahnya. Selain dua toko mini-market,keluarganya juga mempunyai ladang jeruk dan buah-buahan lainnya dan sebuah hutan bambu. Ayahnya itu merupakan lurah dari desa ini.



               "Saya rasa anda belum pernah datang ke desa sejauh dan sekecil ini,"  kata ayahnya kepadaku.



                Bagaimana aku harus menjawab pertanyaannya ? Sebetulnya,aku memang belum pernah datang ke desa ini dalam 33 tahun usiaku ini, tapi aku tidak bisa mengatakan aku belum pernah datang ke sini. Sungguh sulit mengungkapkan perasan-perasaan ku ini. Aku merasa aku sedang kembali ke kampung halaman.



                 "Pak Fan, di ujung jalan ini ada sebuah keluarga yg tinggal di rumah bertembok bata merah. Nama marganya adalah Shih. Apakah bapak mengenal mereka ?"



                   "Oh, itu adalah rumah dari nenek Shih. Sekarang di keluarganya hanya ada seorang pembantunya. Keluarga Shih dulu adalah keluarga yg paling kaya raya di kampung ini. Pak Shih adalah seorang yg sangat baik hati dan berjiwa sosial. Ia mendanai banyak pekerjaan pembangunan di desa ini. Setelah ia wafat, sanak keluarganya pindah ke kota besar maupun ke luar negeri. Hanya istrinya, nenek Shih, yg masih menetap disini. Ia tidak dapat melupakan almarhum pak Shih. Sekarang ia jarang sekali meninggalkan rumahnya itu. Setia pagi mereka membaca mantra dan berdoa kepada Buddha."



                    "Kapan almarhum Shih Shan-Pen meninggal dunia ?"



                    " Oh, itu kira-kira 33 tahun yg lalu. Saya saat itu berusia 20 tahun. Pada hari pemakamannya semua orang didesa ini hadir. Suasananya mirip upacara di kuil saja. Makamnya di buat di tanahnya sendiri. Makamnya itu adalah yang terbesar di kampung ini. Saya akan menemani anda melihatnya apabila anda suka. Lagipula, kita harus melewati tempat itu kalau ingin melihat makam kakekku sehingga anda bisa mengatur Feng-Shui nya."


                    Pak Fan tidak bertanya apa apa kepadaku. Aku terus menundukkan kepala. Nona Fan mengamati gerak gerikku dengan seksama. Air mataku mengalir mendengar mereka berbicara tentang Shih Shan-pen dan nenek Shih.


                    Ketika kami mendaki gunung untuk melihat makam almarhum Shih Shan-pen, aku berjalan di depan. Pak Fan berkata, " Hei, kelihatannya anda hafal betul jalanan di gunung ini."

                     Aku mengamati makam Shih Shan-pen dengan teliti. Kemudian aku pergi ke makam kakek dari pak Fan. Setelah itu aku memohon diri. Aku pergi ke rumah nenek Shih dan mengetuk pintu.

                    Secara kebetulan, ketika aku tiba disana, nenek Shih lah yang membukakan pintu. Mengenakan kemeja biru dan celana berwarna gelap, ia bergerak dengan sangat lambat. Wajahnya sudah keriputan. Tangannya memegang tasbih. Ia bergumam melafal mantra. Aku mengenali bentuk tubuhnya. Aku begitu terkesan sehingga aku berusaha menggapainya, "Apa kabar, nenek Shih ?"


                     "Siapa kau ?" ia bertanya dengan muka menyelidiki.



                     "Nama saya Lu Sheng-Yen." Sangat sulit bagiku menjawabnya demikian. "Saya tahu namamu adalah Pi-fang dan nama pembantumu adalah A-sang. Kau mempunyai 3 putra dan 1 putri. Satu diantaranya baru saja wafat 4 bulan yang lalu. Suami mu , Shih Shan-pen , meninggal 33 tahun yang lalu."


                     "Aku tidak kenal kau ! Kau datang untuk menyelidik tentang aku ?" ia merasa terganggu.



                      "Tidak, tidak. " kataku dengan tergesa gesa, "Saya bukan untuk menyelidikmu; saya cuma mengetahui masa lalumu," saya segera menjelaskan.



                      " Orang gila." ia membalikkan badan sambil bergumam dan menutup pintu.



                      Aku mendengar ia berteriak memanggil pembantunya, " A-sang ! A-sang ! A-sang !"



                      Setelah itu, aku makan siang di rumah pak Fan, tapi aku tidak memiliki nafsu makan. Pak Fan memanggilkanku taksi untuk kembali ke Tai-chung. Ia juga mempunyai urusan disana sehingga ia pergi bersamaku. Ketika taksi melewati jembatan "Adil" , pak Fan berkata, "Jembatan ini di danai pembangunannya oleh Shih Shan-pen"



                       Kami melewati altar Dewa Bumi dan pak Fan berkata, "Altar ini juga di bangun oleh Shih Shan-pen. Orang mengatakan bahwa ia membangunnya untuk mengenang ayahnya."


                       Di jembatan, pak Fan menunjuk ke batu granit dan berkata, "Anak anak suka bermain air disini.Mereka berjemur matahari di atas batu itu."


                         Aku tidak berkata sepatah katapun ; di dalam hati aku mengucapkan selamat tinggal kepada masa laluku. Aku merenung berapa lama aku dapat hidup di dalam tubuh fisikku yang sekarang.


                       " Apakah aku gila ?" pikirku. "Tidak , pikiranku jernih. Sekarang aku mulai mengerti."



                       Aku sadar bahwa rahasia alam tidak dapat di ungkapkan. Semua yang di atur oleh alam semesta bergerak seperti roda berputar. Bila semua orang mengetahui masa lalu mereka, perbedaan didalam umur, hubungan hubungan karma antar manusia,maka tidak ada lagi yang di sebut waktu. Bila demikian keadaannya, betapa kacaunya dunia.